Kalo ngebaca judul tulisan gue di
atas, emang sih terlalu subjektif. Banyak dari kalian pasti berpikir ngapain
coba aku ngasih judul diskriminatif? Tenang, tenang.. Aku enggak mau
mempengaruhi kalian biar nggak percaya dokter, itu salah besar! Hehe.. Ingat
istilah “don’t judge the book by the cover?”
Kalo
aku sih jujur nggak setuju sama istilah itu. Bagaimanapun cover itu nomor satu,
banyak buku jelek yang ke jual gara-gara
covernya bagus. Right? So, aku buat judul yang aneh biar kalian ketipu dan jika
kalian membaca sampai di sini, SELAMAT ANDA TERTIPU, hehe
Nah,
berkaitan dengan judul di atas ada satu pengalaman ceroboh gue waktu SMA. Sebenernya aku enggak mau nulis
tentang pengalaman ini karena aku sangat malu dengan yang ini! But, untuk
pembelajaran sekalian pembaca tahupetis nggak apa lah.
Ini
bermula ketika gue kena penyakit yang aku sendiri tak ingin membahasnya lagi,
sedikit ilfil jika mengingatnya. Yup, ini penyakit kulit yang ditularkan oleh
kakakku karena aku pake handuknya, alias PANU! Hehe, Jangan ngakak!
Nah,
karena Mama pengin serangan panu ini segera lenyap, beliau nyuruh aku biar
pergi ke dokter aja
“Yan,
udah kamu ke dokter aja. Ntar sore mama anter! Ke dokter spesialis kulit dekat
perempatan situ. Itu pinter dokternya.” Kata beliau sambil ngolesin obat panu
di punggungku.
“Ah,
buat apa, Ma? Cuma kayak gini doing, Kok!”
“Bukan
gitu, masalahnya kulitmu item, jadi kalo ada panunya kelihatan!”
Memang
dari dulu aku gak percaya yang namanya dokter. Apalagi kalau hanya terkena
penyakit kecil, aku lebih percaya pada apoteker. Secara logis aku berpikir, “Kan
apoteker lebih tahu jenis-jenis obat dan gunanya? Terus dokter ngapain?” Itu
pendapatku dulu sebelum jadi calon dokter
Ini
didukung pengalaman waktu adik lagi sakit panas, waktu itu Mama Tanya ke
saudara yang jga dokter. Dan apakah kalian tahu apa obat yang dianjurkan dokter
itu? Hanya parasetamol. Aku yang masih SMA juga bisa kalo Cuma ngomong, “kasih
parasetamol aja!”
Lalu,
karena aku percaya apoteker, aku mau coba nih, BEROBAT KE APOTEKER, hehe.
Mungkin aja jadi inovasi terbaru di bidang kesehatan
“Mbak,
obat buat “tiiit” apa?” Tanyaku di apotek deket rumah
“Oh,
mau yang oles apa minum?”Kata mbak apoteker. (Aku heran, kenapa apoteker di
apotek kebanyakan cewek, Ya?)
“Dua-duanya
aja, biar langsung ces pleng!”
“Oh,
ini obatnya gini bla bla bla..” Si Mbak
tadi jelasin ke aku dengan rinci, dia ngasih berapa kali aku harus minum, dan
lain-lain. Sampai di sini aku mikir, “Bener perkiraanku, apoteker itu sama aja
dokter. Ntar aku pamerin ke Mama!”
Sepulang
dari rumah, aku jelasin ke Mama, tentang kelebihan berobat ke apoteker. Dan aku
tunjukin sebungkus antibiotic hasil berobatku ke apoteker. Oh, iya satu
kelebihan apoteker lagi, dia bisa member obat tanpa menginterogasi dan mengecheck
penyakit pasien.
“Jangan
sembarangan minum antibiotic, Yan! Harus dengan resep dokter” Kata mama
ngingetin
“Ah,
tenang aja, Ma..” Aku dengan santai menepis semua keraguan mama.
Dan
setelah itu aku minum itu antibiotic. Awalnya aku minum teratur, sehari sekali.
Namun, di tengah jalan karena aku males & ngerasa udah mulai baikkan, aku
bolong-bolong minum si antibiotic.
“Bener,
kan Ma? Apa kata Riyan..” Aku nunjukin hasil berobat ke apoteker.
Mama
hanya tersenyum mendengar anaknya bahagia.
…
Sekarang
setelah aku masuk Fakultas Kedokteran & mendalami tentang segala penyakit
serta ANTIBIOTIK yang dulu pernah gue minum sembarangan itu..
“Dek,
minum antibiotic itu harus tepat! Harus teratur dan dengan resep dokter, jika
tidak mikroorganisme yang menyerang tubuh bakal resisten atau kebal terhadap antibiotic
golongan yang diminum dan golongan dibawahnya.” Penjelasan dosen pakar antibiotic
di kuliahku.
“Artinya?
Dulu aku minum antibiotic sembarangan, karena aku nggak percaya dokter. Secara
teori, mikroorganime dan segala bakteri tubuhku sudah kebal terhadap antibiotic
golongan yang dulu aku minum. Padahal waktu
itu aku minum antibiotic golongan tinggi!” Shocked
Namun,
jangan panggil aku Riyan kalau aku takluk dengan teori itu. Bagiku tubuhku
resisten terhadap segala bakteri, dan kebal, hehe.
Mekanisme
tubuh itu hanya dokter yang lebih tahu dibanding tenaga kesehatan lainnya,
apoteker contohnya. Dan sebaiknya jangan menganggap remeh obat-obatan yang akan
masuk ke tubuh, karena mekanisme tubuh itu rumit, tidak seperti yang aku
bayangin waktu SMA.
Dan saranku, jangan percaya dokter kalo pengen bakteri di tubuh kebal sama antibiotik dan bakal menggerogoti tubuh sampai habis tanpa ada obat (antibiotik) buat bakteri tadi.
Aku tahu itu setelah aku masuk dunia kedokteran..